Penulis di blog Darul Ihsan Solo menulis sebagai berikut
:
“ Ternyata tren penggunaan nama suami di belakang nama istri makin lama makin populer dan banyak ditiru oleh masyarakat luas di Indonesia. Ada perasaan jengah dan gelisah sebenarnya aku melihat fenomena itu. Terlebih lagi, saat aku melihat banyak akhwat-akhwat yang melakukan hal serupa. Entah mengikuti tren atau entah bagaimana, para akhwat-akhwat berjilbab besar itu juga menempatkan nama suami di belakang nama mereka dengan bangga. Aku pun makin tidak nyaman.
“ Ternyata tren penggunaan nama suami di belakang nama istri makin lama makin populer dan banyak ditiru oleh masyarakat luas di Indonesia. Ada perasaan jengah dan gelisah sebenarnya aku melihat fenomena itu. Terlebih lagi, saat aku melihat banyak akhwat-akhwat yang melakukan hal serupa. Entah mengikuti tren atau entah bagaimana, para akhwat-akhwat berjilbab besar itu juga menempatkan nama suami di belakang nama mereka dengan bangga. Aku pun makin tidak nyaman.
Ketidaknyamanan ini bukan tanpa alasan. Aku menganggap kebiasaan penambahan
nama suami di belakang nama istri itu sesungguhnya bukanlah kebiasaan Islam.
Itu merupakan kebiasaan orang Eropa yang entah berasal darimana. Sependek yang
saya ketahui, di dalam kebiasaan umum dan aturan Islam, siapapun orangnya
nasabnya tetap kepada ayahnya dan seterusnya ke atas, bukan kepada yang lain.
Itulah mengapa kita mengenal sebutan bin dan binti “.
Sebagai dasar dari pernyataannya tersebut beliau menyertakan dasar hukum
yaitu :
1. Firman
Allah SWT. “ Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapaknya.” (QS.Al-Ahzab [33]:5).
2. Markaz al
Fatwa dalam fatwanya No.17398 yang dikutip oleh Ustadz Sigit Pranowo,Lc di
Eramuslim menyebutkan bahwa menyandarkan nama istri kepada suaminya atau
keluarga suaminya dan mencukupkan dengannya dari pada nama ayahnya tidaklah
diperbolehkan.Dikatakannya, hal itu termasuk diantara kebiasaan orang kafir. “
Barangsiapa bernasab kepada selain ayahnya dan ia mengetahui bahwa ia bukan
ayahnya, maka surga haram baginya.” Dikeluarkan oleh Bukhori dalam al-Maghozi
bab Ghozwatuth Tho’if (3982),Muslim
dalam “al-iman” (220), Abu Dawud dalam “al-Adab”).
3. Sabda
Rasulallah SAW :” Barang siapa yang menisbatkan dirinya kepada sebutan selain
ayahnya, maka baginya laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya”.
(HR.Ibnu Majah(2599) dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani Shahihul Jami’
(6104).
Demikian tulisan diatas sengaja saya cuplik, alasan pertama setidaknya
mengingatkan kepada kita semua para istri dan juga suami untuk berhati hati
didalam menggunakan nama, karena ternyata agama islam sudah mengatur tentang
hal tersebut. Alasan yang kedua, saya akan menulis masih sekitar masalah nama
para istri, namun ini berbeda dengan tulisan diatas.
Saya perhatikan bahwa dikalangan para pejabat terutama pejabat pemerintahan
ada suatu kebiasaan para istri yang
suaminya seorang pejabat, mereka (para istri) tersebut, dipanggil dengan nama
jabatan suaminya. Dilingkup Kabupaten misalnya suaminya seorang Bupati,
maka istrinya mendapat panggilan ibu Bupati, suaminya seorang Sekretaris
Daerah, Asisten Daerah, Kepala Dinas, Kepala Bagian, Camat, Kepala Desa, Lurah
dan seterusnya maka para istrinya disebut sebagai Ibu Sekda, Ibu Asda, Ibu
Kadis, Ibu Kabag, Ibu Camat, Ibu Kades, Ibu Lurah. Memang para istri tersebut tidak menyebut
dirinya sebagai Ibu Bupati, Ibu Sekda dan seterusnya, namun nama tersebut
diberikan oleh para pegawai/karyawan dan
masyarakat pada umumnya. Kebiasaan ini tidak diketahui asal sumbernya dari
mana, apakah dari kebiasaan orang barat, atau dari masyarakat kita sendiri
sejak jaman baheula, mungkin juga sebagai bentuk penghormatan kepada suaminya
yang seorang pejabat ? Aku tak tahu,
yang jelas bukan kebiasaan dalam agama Islam. Kebiasaan ini sedikit banyak namun
tergantung orangnya pula, akan ada pengaruhnya terhadap diri para istri pejabat ini apakah terhadap penampilan,
pembawaan, gaya hidup, dan tindakannya yang mungkin ingin menyesuaikan dengan
kedudukan sang suami. Karena jabatan sering hanya dipandang dari sisi
kekuasaan, kewenangan, fasilitas dan hal lain yang serba enak dan wah saja, tidak sedikit terjadi sang istri ikut
mengatur urusan dinas sang suami, berani menyuruh nyuruh para pegawai, bahkan ikut menentukan dalam hal
promosi jabatan pegawai. Para istri ini seharusnya
mempunyai kesadaran, moral dan etika, walaupun mereka kerap dipanggil sebagai
Ibu Bupati, Ibu Sekda, Ibu Kadis, namun ingat bahwa yang pejabat itu adalah
suaminya bukan dia, mereka itu tidak berhak ikut campur mengatur urusan dinas
suaminya. Suamipun harus mempunyai keberanian untuk mencegah istrinya berbuat
demikian (jangan jadi suami dari
golongan SUSIS/SUami Sieun IStri ), karena
seorang suami adalah pemimpin bagi istri dan anak-anaknya.
Fenomena seperti ini apakah ada pengaruh dan hubungannya dengan kebiasaan menyebut
nama istri para pejabat dengan nama jabatan suaminya ? Aku tak tahu, sungguh
aku tak tahu...........