Kamis, 12 April 2012

PENAMBAHAN NAMA SUAMI DIBELAKANG NAMA ISTRI


Penulis di blog Darul Ihsan Solo menulis sebagai berikut :
“ Ternyata tren penggunaan nama suami di belakang nama istri makin lama makin populer dan banyak ditiru oleh masyarakat luas di Indonesia. Ada perasaan jengah dan gelisah sebenarnya aku melihat fenomena itu. Terlebih lagi, saat aku melihat banyak akhwat-akhwat yang melakukan hal serupa. Entah mengikuti tren atau entah bagaimana, para akhwat-akhwat berjilbab besar itu juga menempatkan nama suami di belakang nama mereka dengan bangga. Aku pun makin tidak nyaman.
Ketidaknyamanan ini bukan tanpa alasan. Aku menganggap kebiasaan penambahan nama suami di belakang nama istri itu sesungguhnya bukanlah kebiasaan Islam. Itu merupakan kebiasaan orang Eropa yang entah berasal darimana. Sependek yang saya ketahui, di dalam kebiasaan umum dan aturan Islam, siapapun orangnya nasabnya tetap kepada ayahnya dan seterusnya ke atas, bukan kepada yang lain. Itulah mengapa kita mengenal sebutan bin dan binti “.
Sebagai dasar dari pernyataannya tersebut beliau menyertakan dasar hukum yaitu :
1.   Firman Allah SWT. “ Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapaknya.” (QS.Al-Ahzab [33]:5).
2.  Markaz al Fatwa dalam fatwanya No.17398 yang dikutip oleh Ustadz Sigit Pranowo,Lc di Eramuslim menyebutkan bahwa menyandarkan nama istri kepada suaminya atau keluarga suaminya dan mencukupkan dengannya dari pada nama ayahnya tidaklah diperbolehkan.Dikatakannya, hal itu termasuk diantara kebiasaan orang kafir. “ Barangsiapa bernasab kepada selain ayahnya dan ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka surga haram baginya.” Dikeluarkan oleh Bukhori dalam al-Maghozi bab Ghozwatuth Tho’if (3982),Muslim  dalam “al-iman” (220), Abu Dawud dalam “al-Adab”).
3.   Sabda Rasulallah SAW :” Barang siapa yang menisbatkan dirinya kepada sebutan selain ayahnya, maka baginya laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya”. (HR.Ibnu Majah(2599) dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani Shahihul Jami’ (6104).

Demikian tulisan diatas sengaja saya cuplik, alasan pertama setidaknya mengingatkan kepada kita semua para istri dan juga suami untuk berhati hati didalam menggunakan nama, karena ternyata agama islam sudah mengatur tentang hal tersebut. Alasan yang kedua, saya akan menulis masih sekitar masalah  nama para istri, namun ini berbeda dengan tulisan diatas.
Saya perhatikan bahwa dikalangan para pejabat terutama pejabat pemerintahan ada suatu kebiasaan para istri yang suaminya seorang pejabat, mereka (para istri) tersebut, dipanggil dengan nama jabatan suaminya. Dilingkup Kabupaten misalnya suaminya seorang Bupati, maka istrinya mendapat panggilan ibu Bupati, suaminya seorang Sekretaris Daerah, Asisten Daerah, Kepala Dinas, Kepala Bagian, Camat, Kepala Desa, Lurah dan seterusnya maka para istrinya disebut sebagai Ibu Sekda, Ibu Asda, Ibu Kadis, Ibu Kabag, Ibu Camat, Ibu Kades, Ibu Lurah.  Memang para istri tersebut tidak menyebut dirinya sebagai Ibu Bupati, Ibu Sekda dan seterusnya, namun nama tersebut diberikan oleh para pegawai/karyawan  dan masyarakat pada umumnya. Kebiasaan ini tidak diketahui asal sumbernya dari mana, apakah dari kebiasaan orang barat, atau dari masyarakat kita sendiri sejak jaman baheula, mungkin juga sebagai bentuk penghormatan kepada suaminya yang seorang pejabat ?  Aku tak tahu, yang jelas bukan kebiasaan dalam agama Islam. Kebiasaan ini sedikit banyak namun tergantung orangnya pula, akan ada pengaruhnya terhadap  diri para istri pejabat ini apakah terhadap penampilan, pembawaan, gaya hidup, dan tindakannya yang mungkin ingin menyesuaikan dengan kedudukan sang suami. Karena jabatan sering hanya dipandang dari sisi kekuasaan, kewenangan, fasilitas dan hal lain yang serba enak dan wah  saja, tidak sedikit terjadi sang istri ikut mengatur urusan dinas sang suami, berani menyuruh nyuruh para pegawai, bahkan ikut menentukan dalam hal promosi jabatan pegawai.  Para istri ini seharusnya mempunyai kesadaran, moral dan etika, walaupun mereka kerap dipanggil sebagai Ibu Bupati, Ibu Sekda, Ibu Kadis, namun ingat bahwa yang pejabat itu adalah suaminya bukan dia, mereka itu tidak berhak ikut campur mengatur urusan dinas suaminya. Suamipun harus mempunyai keberanian untuk mencegah istrinya berbuat demikian (jangan jadi  suami dari golongan SUSIS/SUami Sieun IStri ),  karena seorang suami adalah pemimpin bagi istri dan anak-anaknya.
Fenomena seperti ini apakah ada pengaruh dan hubungannya dengan kebiasaan menyebut nama istri para pejabat dengan nama jabatan suaminya ? Aku tak tahu, sungguh aku tak tahu...........