Sabtu, 28 Januari 2012

PERDA MIRAS


Pada dasarnya secara filosopis peraturan perundang undangan dibuat untuk terciptanya ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Kemudian salah satu norma dalam tata cara penyususnan peraturan perundang undangan adalah perundang undangan yang lebih rendah kedudukannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.  Apabila dilihat dari khirarkhi peraturan perundangan undangan maka kedudukan Perda tentang miras lebih rendah dari Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengawasan minuman beralkohol, dengan demikian materi Perda tentang miras tidak boleh bertentangan dengan Kepres nomor 3 tahun 1997.  Baru baru ini Mentri Dalam Negeri telah mengeluarkan kebijakan tentang keharusan Pemda yang menerbitkan Perda Miras untuk menghentikan pelaksanaan  perda miras dengan alasan berdasarkan kajian Kemendagri perda tentang miras bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 1997 yang mejadi rujukan dalam penyususnan Perda Miras tersebut. Tercatat ada beberapa Kabupaten/Kota yang mempunyai Perda Miras, yaitu kota Bandung, kabupaten Indramayu, kota Banjarmasin,kota Balikpapan,kota Tangerang, kabupaten Manokwari, kabupaten Panajem Paser Utara, kabupaten Maros,Kabupaten Sorong dan kabupaten Pamekasan. Pernyataan mendagri ini mendapatkan reaksi keras dari masyarakat dengan melakukan demo menentang rencana pembatalan perda miras seperti yang terjdi di Jakarta yang disertai tindakan anarkhis,kabupaten Bandung, gedung DPRD Jawa barat dan di Bekasi.
Dimanakah letak penyimpangan perda miras terhadap Keputusan Presidan nomor 3 tahun 1997 ini ? hal ini memang dari berita2 yang ada, kementrian dalam negeri tidak menyebutkan secara tegas tentang alasan menghentian pelaksanaan perda miras.
 Pada prinsipnya Keppres nomor 3 tahun 1997 membagi minuman yang mengandung alkohol atas tiga golongan  :

1.             Golongan A , minuman beralkohol dengan kadar 1 – 5 
2.            Golongan B, minuman beralkohol dengan kadar >5 -  20 %
3.         .   Golongan  C, minuman beralkohol dengan kadar >20 – 55 %.  


Untuk golongan  B dan C  ditetapkan sebagai barang dengan pengawasan, dan dilarang diperjual belikan ditempat umum kecuali di hotel,bar,restoran dan ditempat tertentu lainnya yang ditetapkan oleh Bupati/walkot dan tempat tertentu lainnya tersebut tidak boleh berdekatan dengan tempat ibadah, sekolah, rumah sakit dan tempat tertentu lainnya yang ditetapkan oleh bupati/Walkot. Sedangkan untuk minuman beralkohol golongan A tidak termasuk kepada barang dengan pengawasan. Dengan adanya penggolongan sedemikian rupa, maka keppres tersebut memberi ruang untuk beredarnya minuman beralkohol golongan A dengan kadar 1 – 5 % ditempat umum, apalagi dengan tidak berjalannya pengawasan yang ketat dari aparat yang berwajib, minuman ini bisa dengan mudah didapat oleh para remaja di warung2 minuman. Peraturan daerah yang merupakan produk hukum daerah bukan hanya sebagai pelaksanaan dari peraturan pusat saja, namun juga menampung aspirasi, adat kebiasaan masyarakat setempat. Perda perda tentang miras yang ada di Kabupaten/Kota dibentuk agar terciptanya ketertiban dan ketrentaman di masyarakat, masalah miras bukan lagi hanya sekedar masalah agama, tapi sudah menjadi masalah sosial,  sudah menjadi penyakit masyarakat, banyak bukti bahwa miras merupakan salah satu biang keladi timbulnya tindakan kerusuhan, kekerasan dan kejahatan di masyarakat. Sudah dirasakan oleh masyarakat bahwa dengan adanya perda tentang miras ini dapat mengurangi tindak kekerasan dan kejahatan yang sering kali juga menyebabkan kematian.
Mendagri tidak  berwenang untuk membatalkan suatu perda, kewenangan untuk membatalkan perda ada pada Presiden dengan Peraturan Presiden berdasarkan rekomendasi dari Mendagri. Untuk bahan rekomendasi kepada presiden,  Kemendagri berwenang mangkaji suatu perda apakah perda tersebut  bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum. Tentang mekanisme pembatalan perda sudah berjalan sejak terbitnya Undang undang pemda nomor 32 tahun 2004 dan sudah banyak perda perda Kab/kota dan propinsi yang direkomendasikan oleh Mendagri untuk dicabut atau direvisi , namun pada umumnya reaksi  dari masyarakat tidak seperti ketika kebijakan ini diberlakukan terhadap perda tentang miras. Kewenangan pengawasan oleh Kemendagri terhadap perda2, seharusnya tidak hanya secara formal dilihat dari khirarhi peraturan perundang undangan saja, namun harus  mempertimbangkan dari keefektipan berlakunya perda tersebut di daerah.Tidak sedikit peraturan perundang undangan yang secara formal memenuhi persyaratan, namun tidak dapat dijalankan di masyarakat, jadi hanya berupa rangkaian pasal2 yang mati saja. Dan tidak ada salahnya pemerintah pusatpun harus mengkaji dan mengevaluasi terhadap produk hukumnya sendiri, karena bisa saja produk hukum tersebut harus direvisi karena sudah tidak sesuai lagi dengan situasi, kondisi dan perkembangan masyarakat.  Upaya hukum telah dijamin oleh Undang undang apabila Perda Miras dibatalkan oleh Pemerintah, pemerintah kabupaten/kota yang tidak dapat menerima pembatalan tersebut dapat mengajukan banding ke Mahkamah Agung.

Aom hajz,  11 Januari 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar